STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN ENDE DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI PENYEDIAAN ENERGI KERAKYATAN YANG BERDAMPAK PADA KETAHANAN PANGAN
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Ende adalah salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki Sumber Daya Alam yang berlimpah. Potensi pertanian, perkebunan, dan perikanan yang sangat besar membuat kabupaten Ende menjadi tujuan stakeholders nasional dalam perdagangan komoditi. Sebagai contoh adalah kemiri, jahe, cengkeh, pisang, hingga ikan laut yang sejak 2 dekade lalu dikirimkan ke wilayah Jawa. Potensi ini sebetulnya mampu menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Ende. Namun mengingat kondisi Sumber Daya Manusia serta pengetahuan yang terbatas, maka komoditi tersebut lebih banyak dinikmati oleh masyarakat di luar kabupaten Ende. Mirisnya, komoditi tersebut dijual melalui perantara pihak ketiga. Komoditi tersebut dibeli dari masyarakat dengan harga yang lebih rendah daripada acuan harga pasar. Dampaknya adalah pada kurang optimalnya PAD bagi kabupaten Ende sehingga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kecenderungan masyarakat yang lebih banyak menjual komoditi daripada mengonsumsinya untuk kebutuhan pribadi/keluarga. Hal inilah yang menjadi catatan bagi penulis bahwa ada suatu ironi di kabupaten Ende, dimana wilayah dengan potensi komoditas yang melimpah, namun belum mampu dinikmati oleh masyarakatnya. Tentu hal ini berdampak pada kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia. Padahal komoditi tersebut dapat diolah sebagai bahan baku pangan yang bergizi, berprotein tinggi, dan sehat.
Berdasarkan observasi penulis selama bertugas di dinas ketahanan pangan, kabupaten Ende faktor ekonomi menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengoptimalkan penjualan komoditi yang ada. Namun faktor ekonomi tidak berdiri tunggal. Hal yang paling mencolok adalah keterbatasan dan tingginya biaya dalam mendapatkan bahan bakar untuk mengolah komoditi tersebut. Ketergantungan akan minyak tanah menjadi catatan khusus, dimana masyarakat harus merogoh kocek sebesar Rp 200 ribu – Rp 500 ribu per bulan. Selain itu, kelangkaan minyak tanah pada akhirnya membuat harga menjadi meroket. Distribusi pasokan minyak tanah adalah kendala. Panjangnya rantai pasok dari produsen hingga menuju kabupaten Ende diperburuk dengan kondisi infrastruktur sehingga distribusi ke masyarakat khususnya di desa seringkali terhambat. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk mencari kayu bakar di hutan. Kayu bakar tersebut dibakar secara langsung (direct combustion), sehingga menghasilkan energi thermal berupa api yang digunakan untuk mengolah makanan. Sayangnya, pembakaran tersebut tidak sempurna, terlebih kayu yang cenderung basah, sehingga menimbulkan asap. Asap inilah yang mengakibatkan banyaknya masyarakat di kabupaten Ende yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Data Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, 2021). Selain itu, kualitas pengolahan makanan akan jauh menurun karena asap tersebut
Terkait dengan minyak tanah, pemerintah pusat mulai berupaya untuk mengonversi minyak tanah ke energi yang ramah lingkungan. Salah satunya adalahh gas. Tujuannya adalah untuk mengurangi subsidi minyak tanah yang mencapai 202,9 ribu kiloliter dari total subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) sebesar Rp 34,3 triliun (data kementerian Keuangan, 2021). Namun program konversi minyak tanah ke gas bukan tanpa kendala. Selain faktor distribusi dan mahalnya biaya gas per tabung, hal yang sangat sulit untuk dirubah adalah persepsi masyarakat terhadap gas yang dianggap berbahaya karena mudah meledak. Perubahan persepsi ini sangat sulit dilakukan mengingat faktor budaya dan kekeluargaan yang melekat di sebagian besar masyarkat. Selain itu, pengetahuan yang minim juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi sulitnya merubah persepsi masyarakat. Sehingga upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat lebih dari 10 tahun kebelakang dalam menyosialisasikan konversi minyak tanah ke gas tak kunjung tepat sasaran. Selain itu, faktor kepercayaan di tengah masyakat di kabupaten Ende pada khususnya dan wilayah Flores pada umumnya yang percaya bahwa “Api harus merah, bila tidak merah berarti bukan api” (hasil riset dari startup company comestoarra.com, 2020 – 2021), membuat punulis semakin tertarik untuk mendalami jenis energi terbarukan dan teknologi tepat guna sebagai latar belakang penyediaannya sehingga mampu dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengolah komoditi yang ada. Namun karena penulis saat ini bertugas di dinas ketahanan pangan, maka fokus utamanya akan bermuara pada ketersediaan pangan yang sehat dan berkelanjutan bagi masyarakat
Renewable Fuel dan Kompor Biomassa
Sejak 2020, pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) gencar dalam pengembangan Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) atau dalam istilah yang lebih populer dikenal dengan Refuse Derived Fuel (RDF) / Solid Recovery Fuel (SRF). BBJP sendiri telah dikaji secara mendalam oleh sejumlah pihak, salah satunya adalah startup company comestoarra.com yang mendapatkan SK dari Menteri ESDM Nomor 88.K/73/DJE/2020 tanggal 2 Juni 2020. Startup company comestoarra.com juga bekerjasama dengan KLHK dalam pembuatan Detail Engineering Design TOSS / RDF skala komunal yang telah disahkan pada Oktober 2021 dan menjadi salah satu referensi untuk pengolahan sampah menjadi renewable fuel dalam bentuk BBJP. Awalnya penggunaan BBJP hanya difokuskan untuk kepentingan co-firing pada PLTU Batu bara. Co-firing adalah pencampuran batu bara dengan sampah organik dan sampah biomassa dalam bentuk serbuk atau padat hingga 30 persen (tergantung jenis boiler PLTU). Program co-firing telah menjadi program nasional. Namun dibutuhkan waktu dan uji coba yang mendalam agar program ini berjalan berkelanjutan. Salah satunya adalah kepastian dan keberlanjutan pasokan BBJP yang masih harus dikkordinasikan dengan sejumlah stakeholders terkait. Melihat hal ini, maka startup company comestoarra.com bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Ende membuat sebuah Perjanjian Kerja Sama dalam pemanfaatan BBJB sebagai energi kerakyatan pada 12 April 2021 dengan Nomor: 6/HK/2021 (Kabupaten Ende) dan Nomor: 001/IV.COMESTOARRA/PKS/2021. Selain solusi permasalahan sampah yang didominasi oleh sampah organik dan sampah biomassa, ketergantungan pada minyak tanah dan kayu bakar turut menjadi perhatian dalam PKS ini.
Di tahun 2021, startup company comestoarra.com bekerjasama dengan SMKN 2 Ende dalam pembuatan kompor pelet. Kompor tersebut dibuat dari material plat besi guna memperhatikan masa pakai kompor di tengah masyarakat. Namun, secara biaya, produksi kompor tersebut cukup mahal, berkisar Rp 350 ribu. Selain itu dibutuhkan SDM berkeahlian khusus, peralatan pendukung, serta investasi yang cukup besar agar kompor tersebut dapat diproduksi secara masal. Selanjutnya startup company comestoarra.com melakukan observasi di lapangan dan menemukan bahwa kompor biomassa dapat dibuat dari material tanah liat. Dengan desain yang sama, kompor biomassa tersebut berhasil direalisasikan. Biaya produksinya pun lebih murah daripada kompor dengan material plat besi. Sayangnya, keterbatasan sumber tanah liat (hanya ada di beberapa desa di kabupaten Ende), pengerajin, dan juga aspek budaya membuat kompor ini hanya dapat diproduksi dalam skala yang terbatas. Di sisi lain, pembuatan BBJP juga membutuhkan pengadaan mesin cacah dan pelet yang mana masih menjadi kendala pemerintah kabupaten Ende. Walaupun pemerintah pusat melalui kementerian terkait menyatakan akan membantu pembiayaan pengadaan mesin tersebut (Wawancara dengan Direktur Pengelolaan Sampah, KLHK, 2021) namun dalam prosesnya tetap membutuhkan waktu terutama dari sisi adminsitrasi. Sehingga, perlu ada alternatif bahan bakar yang bisa digunakan selain BBJP. Akhirnya setelah kajian yang cukup panjang maka cometoarra dan Pemerintah Kabupaten Ende sepakat untuk mengoptimalkan sampah biomassa berupa ranting dan batang pohon yang potensinya cukup besar di kabupaten Ende. Walaupun menggunakan sampah biomassa yang belum diproses, namun dengan desain kompor yang tepat, maka pembakaran akan sempurna dan tidak menimbulkan asap.
Melihat hal tersebut, pada 2022, startup company comestoarra.com yang didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Ende, mengembangkan inovasi cetakan kompor biomassa sehingga masyarakat hanya membutuhkan semen dan pasir ATAU tanah liat sebagai bahan baku pembuatan. Desain kompor biomassa juga dimodifikasi sehingga mampu digunakan untuk BBJP dan material sampah biomassa. Selanjutnya, startup company comestoarra.com bersama Pemerintah Kabupaten Ende melakukan uji coba dan perhitungan keekonomian. Hasilnya 1 sak semen seharga Rp 65 – 70 ribu dapat digunakan untuk memproduksi 10-12 kompor biomassa. Dengan material pasir 1 m3 seharga Rp 500 ribu ditambah biaya pekerja dan peralatan pendukung, maka dapat dihitung biaya pokok produksi 1 kompor biomassa tersebut adalah Rp 15 ribu. Tentu hal ini sangat ekonomis, walaupun daya tahan semen hanya berkisar 3-6 bulan tergantung pemakaian. Salah satu kekurangannya adalah karena semen tidak tahan panas. Namun dengan BPP yang rendah, namun dengan manfaat yang tinggi, maka selain dapat memenuhi kebutuhan energi masyarakat di kabupaten Ende, dapat tercipta ekonomi sirkuler di tengah mayarakat. Bila kompor sudah tidak dapat digunakan, masyarakat bisa membuat kembali dengan cetakan yang sudah dikembangkan startup company comestoarra.com. Masyarakat juga bisa menjadi produsen untuk menyediakan kompor biomassa kepada masyarakat lainnya.
Saat ini, penulis bersama startup company comestoarra.com sedang bertugas untuk melakukan sosialisasi, edukasi, domonstrasi, dan pelatihan (capacity building) pembuatan kompor biomassa dengan menggunakan cetakan yang ada. Berbagai respon positif berdatangan. Bukan hanya dari desa-desa, tapi juga dari keuskupan, instansi pendidikan, komunitas, hingga pemerintah pusat. Penulis bersama startup company comestoarra.com juga melakukan rapat bersama dengan ESDM, dimana inovasi kompor biomassa ini sesuai dengan salah satu program G-20 yang digelar di Indonesia pada 2022, yaitu clean cooking. Secara teknologi, kompor biomassa ini didesain dengan teknologi tinggi, namun dengan penyesuaian berbasis kearifan lokal. Teknologi Top Lit Up Draft Gasification diimplementasikan pada kompor biomassa yang terbuat dari material semen dan pasir ATAU tanah liat. Sehingga hal inilah yang membuat pembakaran kompor ini menjadi sangat efektif, tidak memerlukan kayu berdiameter lebih dari 30 cm yang biasa digunakan oleh masyarakat di kabupaten Ende, dan yang terpenting tidak berasap. Selama masa capacity building penulis bersama startup company comestoarra.com juga melakukan sejumlah uji coba pengolahan komoditi, diantaranya penggorengan kopi, pembuatan pisang goreng, menanak nasi, dan mengolah ikan laut. Selanjutnya masyarakat diminta memberikan opini dan seluruhnya mengatakan kompor biomassa tersebut mudah dibuat, murah, hemat bahan bakar, dan sehat serta memberikan cita rasa yang sangat baik untuk makanan yang diolah.
1.2 Rumusan Masalah
Ketahanan pangan di masyarakat tidak dapat terealisasi tanpa dukungan energi yang murah, bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Dengan ketersediaan energi, maka masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangannya (basic needs) yang bergizi, berprotein tinggi, dan sehat. Dampak positif akan terasa ketika basic needs masyarakat terpenuhi. Salah satunya adalah peningkatan ekonomi karena masyarakat tidak lagi menjual bahan mentah ke pihak ketiga, tapi bisa mengolah bahan mentah tersebut menjadi produk yang dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Ketika sistem perekonomian terbentuk, maka akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Hal inilah yang akan menjadi penentu dimana pemerintah dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia sehingga dapat menciptakan daya saing dengan masyarakat di wilayah yang maju seperti Jawa dan Sumatera. Ketika kabupaten Ende memiliki daya jual dan kualitas SDM, maka dukungan dari pemerintah pusat, instansi terkait, dan internasional akan berdatangan. Sehingga Ende bisa menjadi pusat perekonomian, pembelajaran, serta perindustrian di wilayah Flores dengan tetap menjaga kearifan lokal dan budayanya. Melalui karya ilmiah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yaitu “Strategi Pemerintah Kabupaten Ende dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia di bidang Ketahanan Pangan Melalui Program Pencetakan Kompor Biomassa”.
1.3 Maksud dan Tujuan
1.3.1 Maksud
Melalui karya ilmiah ini, Penulis bermaksud untuk memaparkan pentingnya energi yang murah, bersih, terjangkau, dan berkelanjutan bagi ketahanan pangan bagi masyarakat di kabupaten Ende. Ketahanan Pangan akan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan ekonomi dengan tetap menjaga kearifan lokal dan budaya di tengah masyarakat kabupaten Ende.
1.3.2 Tujuan
Tujuan karya ilmiah ini adalah
1. Menyolusikan permasalahan ketahanan pangan di tengah masyarakat kabupaten Ende dengan penyediaan energi yang murah, bersih, terjangkau, dan berkelanjutan;
2. Memanfaatkan SDA yang berlimpah dan mengolahnya sebagai produk berkualitas yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sehingga masyarakat menjadi sejahtera dan mampu menggulirkan ekonomi sirkuler;
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM di kabupaten Ende dalam pengelolaan energi dan pembuatan kompor biomassa sebagai pemantik peningkatan keahlian di bidang teknologi skala industrial;
1.4. Metoda Pengambilan Data dan Analisa
Dalam membuat karya tulis ini, metoda pengambilan data yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan observasi ke lapangan, wawancara dengan tokoh masyarakat dan masyarakat, yang disingkronisasikan dengan data dari pemerintah kabupaten Ende, serta literatur. Setelah itu, penulis melakukan uji coba dan melihat respon masyarkat terhadap kegiatan yang dilakukan penulis. Terakhir, penulis melakukan analisa dan membuat simpulan yang dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah kabupaten Ende melalui dinas terkait.
1.5. Batasan Penulisan
Penulisan makalah ilmiah ini fokus pada strategi yang dianalisa dari kegiatan yang telah dilakukan oleh penulis bersama startup company comestoarra.com. Kegiatan telah berlansung sejak Januari 2021 dan masih berlangsung hingga Juni 2022. Selanjutnya, hasil analisa dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten Ende dalam membuat strategi ketahanan pangan melalui penyediaan energi yang terbarukan, mudah, murah, dan berkelanjutan. Hal hal teknis dalam makalah ilmiah ini tidak dibahas mendalam namun tetap mengacu pada pemahaman umum berdasarkan referensi ilmiah dan juga hasil serta temuan selama berkegiatan di lapangan.
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1. Ketahanan Pangan dan Energi
Ketahanan pangan dan energi adalah dua aspek yang tidak dapat terpisahkan dalam konsep kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Bila masyarakat sejahtera, maka secara bertahap pemerintah daerah mampu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia dalam poin ketiga Nawacita, dimana pembangunan tidak lagi terpusat di perkotaan (sentralisasi), melainkan harus dilakukan di seluruh pelosok Indonesia (desentralisasi) (referensi: https://setkab.go.id/membangun-indonesia-dari-pinggiran-desa/ , 2019). Sebagai wilayah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) seharusnya kabupaten Ende mampu untuk melakukan swasembada pangan bagi masyarakat. Sayangnya, ketergantungan akan minyak tanah selama sejak era 1990an membuat masyarakat tidak mampu mengolah SDA-nya secara optimal. Kelangkaan minyak tanah akibat rantai pasok yang panjang, ditambah dengan infrastruktur dan kondisi geografis yang kurang mendukung distribusi minyak tanah ke masyarakat, berdampak pada mahalnya harga minyak tanah. Berdasarkan hasil oberservasi dan wawancara penulis dengan sejumlah masyarakat di kabupaten Ende, masyarakat harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 200 ribu – Rp 500 ribu per bulan untuk mendapatkan minyak tanah untuk kebutuhan sehari-hari (mengolah makanan dan memasak air). Bahkan biaya tersebut akan membengkak sebesar Rp 500 ribu – Rp 750 ribu bila kelangkaan melanda dan bila masyarakat berada di wilayah pedalaman. Tentu alternatif yang paling murah adalah menggunakan kayu bakar yang didapatkan dari hutan. Namun faktor kelembaban kayu bakar yang tinggi membuat proses pembakaran tidak sempurna. Hal ini menimbulkan asap dan berdampak pada aroma makanan dan minuman yang diolahnya. Selain itu, asap juga membuat masyarakat menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Data Dinas Kesehatan, 2022).
Untuk dapat menyolusikan permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah kabupaten Ende membuat strategi pemanfaatan sampah/residu biomassa yang dihasilkan dari SDA berbasis pertanian dan perkebunan. Uji laboratorium yang dilakukan startup company comestoarra.com (2021) menunjukkan bahwa sampah/residu biomassa di kabupaten Ende mampu dimanfaatkan sebagai Bahan Bakar Terbarukan (Renewable Fuel) untuk energi kerakyatan. Pemanfaatan sampah/residu biomassa ini dapat dilakukan melalui metode pemrosesan terhadap sampah/residu biomassa yang heterogen (ranting, daun, rumput, residu pertanian/perkebunan, serbuk kayu) menjadi material padat (BBJP) atau langsung memanfaatkan material homogen seperti ranting pohon, potongan kayu kecil, potongan bambu, dan sejenisnya.
Terkait dengan Sampah/residu biomassa memiliki karakteristik yang heterogen, pemrosesan menjadi bahan baku padat harus dilakukan karena kandungan air (moisture), nilai kalori, abu, fixed carbon, dan volatile metter yang cukup tinggi. Hal ini mamerlukan treatment khusus agar mendapatkan standar bahan bakar biomassa dengan parameter quality dan quantity. Best practice yang telah dilakukan oleh para produsen adalah dengan melakukan fuel blending. Dari sejumlah literatur, fuel blending awalnya dilakukan untuk mencampurkan batu bara kualitas kalori tinggi dan rendah sebelum batu bara tersebut dimasukkan ke dalam boiler. Dalam perjalanannya, fuel blending dilakukan untuk pencampuran batu bara dengan biomassa. Bahkan batu bara tersebut dapat dicampurkan dengan municipal solid waste atau yang saat ini lebih populer dikenal dengan refuse derived fuel / solid recovery fuel (Tilman, et al. dalam jurnal Principles of Solid Fuel Blending, 2012). Sedangkan pemanfaatan material yang homogen seperti ranting pohon, potongan kayu kecil, potongan bambu, dan sejenisnya dapat dilakukan dengan memotong dengan ukuran 3-5 cm. Sehingga penggunaan kayu bakar dengan diameter diatas 20 cm dan panjang diatas 30 cm, yang selama ini digunakan oleh masyarakat di kabupaten Ende untuk menggantikan minyak tanah, dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
Terkait dengan material sampah/residu biomassa yang heterogen, dimana material harus dilakukan pemrosesan pemafatan, berikut data proximate dan ultimate analysis yang dilakukan oleh lembaga Sucofindo pada November dan Desember 2021:
Tabel 1: Data Proximate dan Ultimate Sampah/Residu Biomassa di Kabupaten Ende
Sumber: Data Uji Laboratorium startup company comestoarra.com (2019/2020)
Data tersebut menggunakan campuran cangkang kemiri sebesar 20 persen, serbuk kayu sebesar 20 persen, dan sampah/residu biomassa dari rabasan pohon, rerumputan, pertanian, perkebunan sebesar 60 persen. Pencampuran sampah/residu biomassa ini dilakukan treatment dengan melakukan pencacahan material secara bersamaan, kemudian dilakukan proses biodrying dalam box bamboo ukuran 1x1x1 meter. Selain melakukan proses pengeringan, biodrying dalam metoda yang dilakukan di kabupaten Ende berupaya menghomogenkan material yang heterogen akibat pecahnya sel-sel dalam sampah/residu biomassa yang telah dicacah. Sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalam material tersebut dapat saling melengkapi dan memiliki kualitas yang sesuai dengan komposisi SNI dari Solid Recovery Fuel / Bahan Bakar Jumputan Padat Nomor 8966:2021.
Sebaliknya, material homogen yang banyak ditemui di desa-desa kabupaten Ende dapat mengacu pada data startup company comestoarra.com sebagai berikut:
Tabel 2: Data Proximate Sampah Biomassa untuk Kompor Biomassa
Sumber: Data Uji Laboratorium startup company comestoarra.com (2019/2020)
Lokasi Uji Laboratorium: Laboratorium PT PLN (Persero) UIW NTT
Melihat data tersebut, berdasarkan SNI BBJP biomassa seperti ranting, kulit kelapa, dan bamboo adalah jenis material yang banyak ditemui di kabupaten Ende. Masyarakat tidak perlu melakukan penebangan pohon untuk mendapatkan kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga. Perabasan / pencukuran ranting-ranting pohon dapat dilakukan untuk selanjutnya kembali dipotong ukuran 2-5 cm (tergantung diameter dari ranting-ranting pohon tersebut). Material inilah yang laik digunakan untuk kebutuhan kompor biomassa yang akan dipaparkan pada sub bab 2.2.
Bila masyarakat mampu mengolah sampah/residu biomassa ini, baik bahan baku padat dari material sampah/residu biomassa yang heterogen atau material biomassa yang homogen, maka ada harapan bagi masyarakat untuk dapat mengolah SDAnya, dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga, dan ketika basic needs nya terpenuhi maka selanjutnya SDA tersebut dapat dijual untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah. Bukan sekedar bahan mentah, tapi juga produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
2.2. Top Lit Up Draft Gasification
Melihat data tersebut, maka strategi pemerintah daerah untuk memeuni ketahanan pangan dan juga ketahanan energi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sampah/residu biomassa sebagai sumber energi untuk mengolah SDA. Namun untuk perlu media khusus untuk membuat material tersebut dikonversi menjadi energi. Sebagai ilustrasi, minyak tanah tidak akan dapat digunakan untuk mengolah SDA tanpa adanya kompor minyak tanah. Gas tidak akan dapat digunakan untuk mengolah SDA tanpa adanya kompor gas. Sama halnya dengan sampah/residu biomassa, baik yang heterogen dan juga homogen, material tersebut membutuhkan media kompor dengan konsep gasifikasi dengan desain Top Lit Up Draft. Menurut Robison et al. (2022) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Cooking for communities, children and cows: Lesson learned form institutional cookstoves in Nepal, gasifikasi adalah suatu pemrosesan material padat secara termokimia menjadi gas. Sedangkan desain Top Lit Up Draft akan memproses bahan baku padat tersebut melalui pertukaran udara external dan internal pada kompor tersebut. Teknologi ini dapat dikatakan teknologi lama karena telah digunakan sejak 180 tahun yang lalu di sebagian besar wilayah Eropa. Namun sejak kehadiran bahan bakar minyak, teknologi gasifier mulai ditinggalkan. Pada saat perang dunia II, teknologi ini kembali dikembangkan, bahkan digunakan untuk truk listrik, bus, mesin pertanian, dan peralatan industri. Teknologi gasifikasi kembali ditinggalkan seiring dengan ketersedaiaan bahan bakar fosil (minyak, gas alam, batu bara), yang saat ini menjadi energi primer di seluruh dunia. Hanya negara Swedia yang konsisten dalam pengembangan teknologi gasifikasi hingga saat ini.
Di era 2000, ketika banyak pihak yang menyerukan transisi energi fosil ke energi terbarukan, teknologi gasifikasi kembali dikaji dan dikembangkan. Hal inilah yang membuat penulis yakin bahwa teknologi gasifikasi akan menjadi teknologi masa depan karena tren dari ketersediaan bahan bakar fosil mulai menurun. Dampak dari penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan energi pun mulai menuai kecaman karena berakibat pada efek rumah kaca. Transisi energi fosil ke energi terbarukan pun belum sepenuhnya berjalan optimal. Selain biaya investasi dan operasional yang mahal, ketergantungan pada teknologi berbasis fosil juga menjadi alasan terkait sulitnya seluruh negara di dunia melakukan transisi energi. Atas dasar inilah, penulis berupaya untuk membuat suatu inovasi bersama startup company comestoarra.com dalam kaitannya dengan pemanfaatan sampah/residu biomassa sebagai energi kerakyatan. Hal hal terkait kegiatan inovasi tersebut akan dipaparkan pada BAB III makalah ilmiah ini.
2.3. Metoda Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah Biomassa
Pemanfaatan sampah/residu biomassa dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama adalah mengolah sampah/residu biomassa menjadi material padat. Kedua menggunakan material biomassa yang homogen (ranting, bambu, kulit kelapa, cangkang kemiri) yang dipotong dengan ukuran 2-5 cm (tergantung diameter biomassa). Intinya adalah material tersebut harus dalam bentuk padat agar proses gasifikasi berjalan dengan sempurna. Terkait dengan pengolahan sampah/residu biomassa menjadi material padat, saat ini kabupaten Ende telah mengembangkan Teknologi Olah Sampah di Sumbernya (TOSS) yang bekerjasama dengan startup company comestoarra.com dengan mengacu pada Detail Engineering Design TOSS / RDF Skala Komunal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara singkat, metoda TOSS fokus pada pengolahan sampah di sumbernya (desa/kelurahan dan komunitas) dimana mampu menyolusikan sampah sebesar 1,3,5, dan 10 ton per hari. Hal ini akan mengoptimalkan SDM lokal sebagai pekerja dan meminimalisir transportasi pengangkutan sampah ke TPA dimana pada umumnya hanya ditampung tanpa diproses lebih lanjut. Penumpukan sampah akan menimbulkan proses pembusukan dan akan menghasilkan lindi serta gas methan (CH4). Lindi adalah zat beracun yang membuat tanah terkontaminasi dan dalam volume tertentu akan berdampak pada pencemaran air tanah. Sedangkan CH4 akan membuat pencemaran udara yang mana berdasarkan data… lebih berbahaya 28 kali daripada karbon dioksida (CO2).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (2021), volume sampah per hari di kabupaten Ende adalah 110 ton yang didominasi oleh sampah/residu biomassa non pertanian dan perkebunan. Namun DLH hanya mampu untuk mengakomodir penanganan sampah di 4 (empat) kecamatan di sekeliling pusat pemerintahan kabupaten Ende. Hal ini mengingat keterbatasan dari sisi tenaga, biaya, dan juga armada pengangkut sampah. Dengan adanya TOSS, maka diharapkan seluruh peramasalahan di kabuapten Ende dapat diselesaikan karena mampu dilakuka secara komunal. Adapun metoda TOSS dapat dipaparkan sebagai berikut:
Gambar 1: Proses TOSS untuk Sampah Domestik
Sampah domestik sering ditemui di 4 (empat) kecamatan di kabupaten Ende yang berada di wilayah pusat pemerintahan. Walaupun sampah domestik di kabupaten Ende didominasi oleh sampah organik dan sampah/residu biomassa, namun keberadaannya sering tercampur dengan sampah non organik dan juga residu (limbah elektronik, popok, busa, dan sejenisnya). Tentunya perlu perlakuan khusus (treatment) dalam pengolahannya. Sampah organik cenderung cepat membusuk. Hal inilah yang menimbulkan bau tidak sedap dan memproses lindi dan gas methan lebih cepat daripada sampah/residu biomassa yang tertumpuk. Sedangkan sampah non organik, sebetulnya memiliki nilai ekonomi yang cukup baik bila dipilah terlebih dahulu oleh masyarakat. Namun dibutuhkan edukasi dan perubahan mindset agar proses pemilahan dapat dilakukan. Melalui metoda TOSS, sampah domestik tersebut di masukkan ke dalam box bambu berukuran 1m3 dengan kapasitas volume sebesar 200 – 300 kg. Setelah itu, untuk menghilangkan bau dan proses pengeringan secara biologis, maka sampah di box bamboo tersebut disiram dengan bioaktivator. Dalam waktu 3-5 hari (tergantung jenis sampah domestik), sampah akan menyusut dan mengering. Pada situasi ini, proses pemilahan dapat dilakukan karena sampah sudah tidak berbau busuk dan meminimalisir bakteri. Setelah dipilah, maka material organik dan/atau sampah/residu biomassa dapat diproses pada mesin cacah. Terakhir, hasil cacahan dipelet dan dijemur selama 1 hari. Hasil pelet yang kering ini mampu menjadi bahan bakar terbarukan (renewable fuel) untuk bahan bakar kompor biomassa.
Namun karakteristik sampah di 4 (empat) kecamatan tersebut berbeda dengan 17 (tujuh belas) kecamatan lain di kabupaten Ende. Sebagian besar sampah organik di wilayah tersebut secara otomatis dipilah oleh masyarakat sebagai pakan ternak babi. Adapun sampah/residu biomassa pada umumnya dibakar oleh masyarakat. Adapun timbulan sampah non organik dapat dikategorikan minim karena masyarakat masih menggunakan tradisi penggunaan daun untuk kemasan makanannya. Dengan jenis sampah seperti terdeskripsikan tersebut, maka prosesnya pun ada perbedaan dengan pemrosesan sampah domestik.
Gambar 2: Proses TOSS untuk Sampah/Residu Biomassa
Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan proses pencacahan terhadap sampah/residu biomassa. Hal ini dilakukan karena sampah/residu biomassa menyimpan kandungan air yang cukup tinggi (walaupun terlihat kering). Kandungan air biasanya tersimpan di dalam ranting dan batang pohon serta rerumputan yang hijau. Setelah dicacah, maka sampah/residu biomassa tersebut diproses pada box bambu berukuran 1 m3 dengan menyiramkan bioaktivator. Dalam waktu 1 hari, hasil cacahan yang sudah disiramkan biokativator dapat diproses pada mesin pelet dan dilakukan penjemuran.
TOSS telah berkotribusi terhadap program co-firing PT PLN (Persero) di PLTU Ropa, dimulai dari uji coba selama 3 tahap hingga komersialisasi. Namun dengan PAD yang hanya dibawah 2 miliar per tahun (data kabupaten Ende, 2020) membuat pemerintah kabupaten Ende harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam penyediaan peralatan TOSS tersebut. Bila ingin memproduksi untuk kebutuhan masyarakat, maka dibutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang. Diperkirakan realisasi dari penyediaan peralatan TOSS adalah 2-3 tahun dimana berdasarkan kajian dari startup company comestoarra.com dibutuhkan setidaknya 7 (tujuh) titik TOSS dengan akses yang strategis di sejumlah kecamatan. Namun kendala tersebut pada akhirnya diantisipasi dengan penggunaan sampah/residu biomassa yang homogen (ranting, bambu, kulit kelapa, cangkang kemiri) yang dipotong dengan ukuran 2-5 cm (tergantung diameter biomassa). Setidaknya jenis material ini mampu untuk dijadikan bahan bakar kompor biomassa, sehingga secara perlahan ketergantungan minyak tanah dan penggunaan kayu bakar dapat diminimalisr bahkan dihilangkan.
2.4. Strategi Peningkatan Kualitas SDM Skala Komunal
Walaupun kondisi geografis, kondisi ekonomi, dan kualitas SDM yang belum memenuhi standar nasional, namun ada hal yang menarik dari temuan publis terhadap penerimaan masyarkat di kabupaten Ende terhadap teknologi. Hal yang sangat menonjol adalah penggunaan telepon seluler dan internet yang mana sebagaian besar masyarakat sudah menggunakan. Tentu hal ini menjadi kunci bagaimana masyarakat dapat dipersuasi untuk dapat menerima teknologi seperti TOSS dan kompor biomassa. Walaupun begitu, hal hal terkait kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) masih sulit untuk dipersuasi melalui telepon seluler dan internet dikarenakan informasi yang disebarkan masih sulit dipahami oleh mayarakat. Hal ini karena bahasa atau visualisasi terhadap suatu informasi masih sulit dipahami, dan ada yang kurang singkron dengan kebiasaan yang ada di masyarakat, baik dari sisi budaya ataupun dari sisi agama. Oleh karenanya, unsur pemerintah, tokoh adat, dan juga tokoh agama harus berkolaborasi dalam upaya melakukan persuasi yang positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Dalam teori pelayanan publik, masyarakat cenderung untuk mengikuti arahan dari para tokoh adat dan/atau agama. Namun dalam struktur hukum pemerintahan, tokoh adat dan/atau agama tidak memiliki wewenang dan tidak bisa intervensi terkait dengan pelayanan publik, apalagi menyangkut pendanaan. Sebaliknya, pemerintah juga tidak bisa mengakomodir seluruh keinginan masyarakat mengingat kapasitasnya hanya sebagai regulator dan fasilitator. Oleh karenanya bagan di bawah ini dapat menggambarkan bagaimana strategi pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM di tengah masyarakat.
Gambar 3: Bagan Koordinasi Pemerintah, Tokoh Adat, dan Tokoh Agama
Pendekatan komunal harus dilakukan karena masyarakat terkecil sekalipun memiliki wilayah dengan keberagaman budaya, kebiasaan, dan juga karakter masyarakat. Oleh karenanya, dengan koordinasi terhadap visi dan misi kebijakan yang dibuat pemerintah, maka para tokoh adat dan tokoh agama menjadi kepanjangan tangan untuk dapat mensosialisasikan, mengedukasi, dan mendampingi (capacity building) di tengah masyarakat. Para tokoh agama dan tokoh adat pun dapat menyampaikan aspirasi masyarakat, sehingga apa yang dihadirkan pemerintah kepada masyarakat menjadi tepat guna (kebijakan tepat guna, teknologi tepat guna, dan bantuan yang tepat guna).
BAB III Pembahasan
3.1. Pembuatan Bahan Bakar Terbarukan (Renewable Fuel)
Seperti yang telah dipaparkan pada BAB II, SDA yang berlimpah di kabupaten Ende bukan hanya berpotensi untuk diolah sebagai bahan pangan yang berkualitas dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tapi juga dapat digunakans sebagai renewable fuel. Berdasarkan observasi dan uji coba yang dilakukan penulis bersama startup company comestoarra.com, seluruh desa di kabupaten Ende memiliki beragam jenis biomassa yang dapat diolah dan/atau dimanfaatkan menjadi renewable energy. Namun potensi terbesar adalah residu cangkang kemiri, serbuk kayu, limbah pertanian, dan jenis rerumputan. Potensi ini secara teknis tidak bisa dimanfaatkan secara langsung sebagai renewable fuel, namun harus diproses menggunakan TOSS, mulai dari treatment dengan biodrying, pencacahan, hingga peletisasi. Berikut ilustrasi bahan baku tersebut:
Gambar 4: Jenis Sampah/Residu Biomassa yang Harus di Peletisasi
Namun permasalahannya adalah pada peralatan pendukung seperti mesin cacah dan mesin pelet. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka ada material biomassa yang dapat digunakan langsung sebagai renewable fuel, sebagai berikut:
Gambar 5: Jenis Sampah/Residu Biomassa yang Siap Digunakan Kompor Biomassa
Jenis material biomassa seperti ini dapat digunakan sebagai renewable fuel mengingat kriteria kalorinya yang cukup baik. Namun harus dipastikan bahwa biomassa ini kering dan dipotong kecil sehingga memiliki kepadatan cukup sebagai syarat pembakaran dalam kompor biomassa dengan teknologi Top Lit Up Draft Gasification sebagaimana yang tertuang pada BAB II.
3.2. Kompor Biomassa
Kompor biomassa mampu menjadi jawaban untuk dapat menyolusikan permasalahan minyak tanah yang mahal dan langka serta penggunaan kayu bakar di tengah masyarakat kabupaten Ende. Namun, kompor biomassa tersebut harus memenuhi aspek yang ada di tengah masyarakat. Walaupun secara teknologi efektif dan efisien, namun masyarakat sebagai pengguna harus dapat menerima tanpa pakasaan, merasa nyaman dengan kehadiran teknologi tersebut, dan mudah digunakan. Inilah bagian yang tersulit dari transfer knowledge suatu teknologi. Dalam kaitannya dengan kompor biomassa, penulis bersama startup compay comestoarra.com sudah melakukan uji coba di tengah masyarakat terkait dengan kompor biomassa. Pertama adalah kompor biomassa dengan material besi. Pada saat melakukan demonstrasi kompor ini, masyarakat sangat merespon positif. Namun berbagai pertanyaan tentang: “bagaimana mendapatkannya?”, “apakah kompor ini dibagikan?”, “apa bisa dibuat oleh masyarakat” dan sejumlah pernyataan seperti: “kalau membeli kompor ini pasti mahal”, “kalau peletnya harus diambil dari kota, tidak ada gunanya”, “kalau rusak kompornya pasti kami akan kembali lagi menggunakan kayu bakar”, menjadi catatan penulis bahwa masyarakat belum dapat menerima kompor biomassa ini. Dan dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas SDM, pertanyaan dan pernyataan tersebut cenderung akan membuat masyarakat bergantung terhadap bantuan pemerintah atau donatur. Artinya, sangat riskan terjadi keberlanjutan penggunaan kompor biomassa ini sehingga tujuan dari penyediaan energi murah, bersih, dan berkelanjutan yang digunakan untuk mengolah SDA yang berlimpah di kabupaten Ende tidak akan tepat sasaran.
Gambar 6: Kompor Biomassa Dengan Material Besi
Langkah selanjutnya adalah membuat kompor dengan bahan baku tanah liat. Dengan desainyang sama, yaitu Top Lit Up Draft Gasification, kompor ini mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan kompor biomassa yang terbuat dari besi. Bahkan perhatian langsung muncul dari Gubernur Nusa Tenggara Timur, Victor Laiscodat yang berkunjung ke kabupaten Ende untuk melihat inovasi TOSS. Bahkan Gubernur NTT memesan kompor sebanyak 1000 buah untuk digunakan di pulau Sumba. Artinya, dengan menggunakan material tanah liat, kompor biomassa ini sangat membumi dan mudah diterima oleh masyarakat. Mengingat Gubernur NTT merupakan Gubernur yang mengetahui kondisi di masyarkat. Dari sisi biaya produksi, kompor biomassa tanah liat ini juga lebih murah. Namun tidak semua desa memiliki sumber daya tanah liat. Dan tidak semua desa memiliki pengerajin untuk membuat kompor biomassa dari tanah liat. Selain itu, karena dilakukan secara manual, maka sulit untuk diproduksi secara masal. Artinya, penggunaan kompor biomassa ini tidak akan merata ke seluruh wilayah kabupaten Ende.
Gambar 7: Kompor Biomassa Dengan Material Tanah Liat
Melihat kedua kompor biomassa tersebut, akhirnya penulis dan startup company comestoarra.com melakukan analisa terutama terkait kemudahan dalam memproduksi dan keberlanjutan kompor biomassa ini. Hasil observasi penulis bersama startup company comestoarra.com, semen dan pasir cukup familiar ditengah masyarakat dan keberadaannya mudah didapatkan. Oleh karena itu, dibuatlah cetakan kompor biomassa yang akan memudahkan masyarakat dalam memproduksi kompor biomassa tersebut. Bahkan masyarkat bisa membentuk kelompok yang dapat memproduksi kompor biomassa ini dan menjualkan kepada masyarakat lainnya. Harga produksi kompor biomassa ini pun cukup terjangkau. 1 (satu) sak semen seharga Rp 65 ribu – Rp 70 ribu dapat digunakan untuk mencetak 10 kompor. Bila dihitung dengan investasi cetakan kompor dengan material besi, tenaga kerja, dan alat produksi seperti bor, maka Biaya produksi 1 (satu) kompor biomassa adalah Rp 15 ribu. Berdasarkan wawancara penulis dengan sejumlah masyarakat, bila kompor tersebut dibeli dengan harga Rp 50 ribu – Rp 75 ribu, masyarakat pun tidak keberatan. Margin sebesar Rp 35 ribu – Rp 60 ribu inilah yang menjadi pendapatan baru bagi masyarkat dalam kaitannya dengan ekonomi sirkuler.
Gambar 8: Kompor Biomassa Dengan Material Semen dan Pasir
3.3. Uji Kompor Biomassa
Sebelum melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan kepada masyarakat, maka penulis bersama startup company comestoarra.com melakukan uji bakar terkait penggunaan kompor biomassa dengan material semen dan pasir. Adapun data uji kompor biomassa terlampir:
Uji bakar di atas dilakukan untuk menguji volume biomassa yang dapat digunakan untuk proses pembakaran. Selanjutnya, kompor diuji kembali dalam waktu yang lebih lama. Data terkait uji kompor biomassa tersebut terlampir:
3.4. Sosialisasi, Edukasi, dan Pendampingan Kompor Biomassa Kepada Masyarakat
Gambar 9: Kegiatan Sosialisasi, Edukasi, dan Pendampingan Kompor Biomassa
Sejak Januari 2021, penulis dan startup company comestoarra.com mulai melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan kepada masyarakat. Kegiatan ini selain untuk mempersuasi masyarakat, juga dilakukan untuk mengetahui ketertarikan masyarakat akan kompor biomassa ini. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama selama masa sosialisasi, disimpulkan bahwa kompor biomassa ini mudah dibuat, mudah digunakan, dan sangat hemat. Masyarakat secara perlahan juga bisa diedukasi tentang bahayanya asap yang ditimbulkan akibat penggunaan kayu bakar. Selain itu, hal yang dilihat oleh penulis adalah respon masyarakat yang mulai melakukan aktifitas brainstorming, dimana hal tersebut mampu meningkatkan creative thinking di tengah masyarakat. Hal ini juga dipicu dari sejumlah penyebaran informasi yang dilakukan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan menggunakan media Whatsapp, Instagram, dan juga Facebook. Bahkan tokoh agama dan tokoh masyarakat ini pula yang pada akhirnya menarik media massa untuk dapat memberitakan kompor biomassa ini. Berikut adalah sejumlah publikasi di media massa yang terjadi akibat penyebaran informasi yang dilakukan oleh tokoh adat dan juga tokoh agama. Namun pertanyaan yang muncul adalah “bagaimana molding cetakan kompor ini dapat diperoleh?” Dengan segala keterbatasan, akhirnya penulis menyatakan bahwa penulis dan startup company comestoarra.com siap mengajarkan cara pembuatan molding. Tanpa diduga, masyarakat menerima alasan tersebut. Hal inilah yang membuat penulis yakin bahwa dengan metoda yang tepat, maka masyarakat akan berinisiatif melakukan perubahan. Tentunya hal ini akan berdampak pada peningkatan kapasitas SDM. Dimulai dari pembuatan kompor biomassa, selanjutnya penggunaan kompor biomassa tersebut untuk mengolah SDA, sehingga kebutuhan primer masyarakat dapat terpenuhi, dan yang terkahir SDA yang telah menjadi produk dapat dijual dengan hargya yang lebih tinggi daripada menjual bahan baku mentah.
Selain itu, respon yang baik dari masyarakat yang dibantu oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat membuat sejumlah media massa mulai melakukan pemberitaan. Hal inilah yang menjadi kekuatan baru bagi capacity building di tengah masyarakat. Adapun beberapa pemberitaan terlampir sebagai berikut:
Dengan waktu yang relatif singkat (2 bulan), sosialisasi kompor biomassa dengan bahan baku semen dan pasir mampu menghadirkan keyakinan di tengah masyarakat bahwa pemerintah kabupaten Ende memberikan solusi atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Solusi ini juga mampu menggerakkan masyarakat untuk mandiri dalam memproduksi kompor biomassa tersebut. Namun langkah yang positif ini harus disertai dengan pendampingan yang intensif. Tentu startup company comestoarra.com tidak mungkin mendampingi masyarakat dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, penulis mulai merancang strategi agar startup company comestoarra.com memprioritaskan pelatihan dan pendampingan ke komunitas yang mampu untuk melanjutkan peranan startup company comestoarra.com. Selain tim dari Dinas Lingkungan Hidup, startup company comestoarra.com menggandeng organisasi nirlaba Anak Cinta Lingkungan yang memang fokus dalam pengelolaan sampah. Selain itu, pelatihan dan pendampingan di kalangan umat yang diakomodir oleh para room katolik di kabupaten Ende juga menjadi strategi agar masyarakat dapat pendampingan yang sama dan berkelanjutan, walaupun startup company comestoarra.com telah menyelesaikan tugasnya pada Juni 2022.
BAB IV Simpulan
Dari sejumlah kegiatan yang dilakukan penulis bersama startup company comestoarra.com, ternyata peningkatan kapasitas SDM di kabupaten Ende tidak bisa hanya terfokus pada teknologi dan keahlian teknis. Diperlukan pendekatan budaya dan agama serta pendampingan secara intensif. Dalam pembuatan strategi peningkatan kapasitas SDM, kompor biomassa ini menjadi hal yang mampu menggerakkan pola pikir dan keterampilan masyarakat. Kenyataan yang ditemui adalah, masyarakat membutuhkan sesuatu yang mudah dan hal yang terbiasa mereka lakukan. Walaupun kompor biomassa ini menggunakan teknologi yang tinggi, namun dengan strategi pendekatan yang populis maka kompor biomassa ini dapat dengan mudah untuk disosialisasikan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat. Ketika masyarakat sudah merasakan manfaat dari kompor biomassa ini, maka selanjutnya pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama hanya bertugas sebagai pembina dan penampung aspirasi. Kompor biomsasa yang awalnya digunakan untuk memanfaatkan sampah/residu biomassa untuk energi kerakyatan, selanjutnya dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dengan mengolah SDA yang ada. Jika masyarakat mampu mengolah SDA, maka masyarakat akan sehat dan juga memiliki kualitas hidup karena mengonsumsi makanan yang berkualitas. Selanjutnya ketika masyarakat sudah memenuhi kebutuhan primernya, maka masyarakat dapat mengolah SDA tersebut menjadi produk dengan nilai ekonomi yang tinggi. Jika sudah ada produk, maka transaksi akan terjadi. Sehingga masyarakat akan merasakan manfaat dan tidak bergantung dengan pihak ketiga. Ketika rantai pasok ini terealisasi, maka dengan sendirinya manusia akan terus mengembangkan diri. Intervensi teknologi tidak akan menjadi hal yang utama, karena pada akhirnya masyarakat akan mencari teknologi yang efektif dan efisien, bukan teknologi yang canggih.
Daftar Pustaka
Darwanto (2005), “Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani”, Jurnal ilmu pertanian Vol.12, No.2;
Pallo, Mahardika, dan Tang (2021), “Analisis Deskriptif Prodksi Jagung di Nusa Tenggara Timur”. Jurnal ilmu Pertanian;
Suharyanto (2011), “Ketahanan Pangan”, Jurnal Sosial Humaniora, Vol 4, No.2;
Se dan Langga (2021), “Peranan BUMDes Dalam Mendukung Perekonomian dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa Watusipi, Kecamatan Ende, Kabuapten Ende”, Jurnal Ilmiah Pengabdian Masyarakat, Universitas Flores;
Mrdaningsih dan Uran (2021), “Kajian Agronomi Potensi Pengembangan Tanaman Sorgum Varietas Numbu di Kabupaten Ende”, Jurnal Budidaya Pertanian, Vol 17(1): 23-27;
Fatima (2019), “Nagakeo: Antara Kenyataan dan Harapan Menuju Pertanian yang Berkelanjutan”, Universitas Flores;
Sutrisno (2022), “Kebijakan Sistem Ketahanan Pangan Daerah”, Jurnal Ilmu Administrasi, Volume 13, Nomor 1;
Indeks Ketahanan Pangan 2021, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
Detail Engineering Design TOSS / RDF Sakala Komunal (2021), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Author
Arief Noerhidayat & Heironimus Wilianus Dale
CEO at comestoarra.com & Food Security Department, Ende Gov